Cut Ali, Mualim dari Aceh Selatan

Berawal dari doa, lalu menjadi isim yang menakutkan bangsa penjajah Belanda, dialah bergelar Teuku Cut Ali. Doa-doanya yang bernada sastra menjelma serupa mantra sehingga dia pun kerap berhasil lolos dari sergapan Belanda.

Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi penyayang
Allah adalah pelindung saya.
Tiada tuhan melainkan Allah,
Malaikat-malaikat Jibril, Mikail, dan Israfil
Berada pada tangan kanan dan tangan kiri saya
Di muka, di belakang, di atas, dan di bawah saya.
Saya dikelilingi oleh kesaksian tiada tuhan selain Allah
Saya pergi dengan kasih sayang Allah,
Yang menyebabkanku berhasil dalam alam ghaib
Tuhanku adalah Allah

Demikian sepenggal doa Teuku Cut Ali yang kemu­dian diyakini memiliki kemampuan ghaib. Allah swt. dan para malaikat-Nya seolah senantiasa melindungi Cut Ali dalam setiap penggempuran ke pihak musuh. Kendati demikian, penegasan Allah dalam Alquran bahwa kullu nafsin zaaikatul maut (tiap-tiap yang bernya­wa pasti merasakan mati) adalah sebuah keniscayaan bagi Cut Ali. Dia gugur sebagai pahlawan pada 1927, setelah ditembak oleh Gosenson, seorang Marsose Belanda. Na­mun, sebelumnya, di tangan Cut Ali, berpuluh pimpinan perang Belanda dan pasukannya telah menemui ajal.

Bagi masyarakat Aceh, terutama belahan barat-selatan, Cut Ali adalah spirit perjuangan tiada tara. Hal ini diakui langsung oleh seorang penulis Belanda, H.C. Zentgraaff. Menurut Zentgraaff, Cut Ali sempat membuat keributan dan ketegangan bagi pihak Belanda yang nyaris tak ter­pikulkan sehingga Belanda yang kala itu mencoba masuk ke penduduk Aceh lewat warung-warung kopi merasa tak berdaya, karena tak ada yang berhasil dipengaruhi dan dikorek informasi tentang Cut Ali.

Sepanjang zaman, Zentgraaff mengakui kemasgulan Cut Ali sehingga dia menulis, “Di daerah pesisir barat, jiwa dan semangat berjuang lama yang menyala-nyala adalah yang paling lama bertahan, senantiasa terdapat ketegan­gan yang pada setiap saat meledak. Penduduknya, me­mang membungkukkan kepalanya setelah operasi-opera­si besar yang lampau, namun dalam semangatnya mereka tidak banyak berubah atau sama sekali tidak berubah.”

Kata Zentgraaff, Cut Ali dan pasukannya berjuang hanya mengandalkan pedang. Namun, setiap pasukan marsose yang terkena sabetan pedang tersebut, niscaya menemui ajal. Cut Ali menjadi pengaruh besar bagi masyarakat Aceh melawan Belanda, dan Belanda sangat mengakuin­ya. Lebih spesifik, Zentgraaff mengakui kemahiran Cut Ali dan pasukan kecilnya memanfaatkan kelengahan pasukan Belanda.

Beberapa komandan perang andalan Belanda yang menghembuskan napasnya di tangan pasukan Cut Ali adalah Letnan Molenaarb, tewas di sekolah Terbangan, Letnan Klaar dan Letnan Molenaar.

Masih menurut Zentgraaff, Cut Ali juga gemar menulis surat kepada musuh. Surat-surat itu bernada ancaman yang sempat membuat komandan perang Belanda selalu berpikir tujuh keliling menerima pasukan Cut Ali. “Saya berada di sini dengan 80 pasukan, dan kalau Tuan tidak datang dengan sekurang-kurangnya 120 serdadu, lebih baik tinggal di rumah saja,” demikian salah satu isi surat ancaman tersebut.

Sekarang Teuku Cut Ali tiada lagi, beliau hanya meninggalkan sejarah emas sebagai pejuang yang gagah berani menentang ketidak adilan penjajah. Sudah sepatutnya kita sebagai generasi penerus meneladani semangat beliau untuk modal membangun negeri.

sumber: (JKMA) Aceh

Bagaimana menurut anda... :)